Senin, 02 Januari 2012

Manusia dan Tanggung Jawab

Makna Pengabdian

Bagi penikmat sejarah jepang, kisah 47 Ronin bukanlah hal yang asing. Inti kisah ini jelas, namun detilnya yang kabur menjadi inspirasi tersendiri untuk menjalin cerita ini dari berbagai sudut pandang. Karya John Allyn merupakan salah satu alternatif jalinan kisah ini dengan menonjolkan interaksi para karakter dan benturan-benturan yang mereka temui dalam mencapai misinya.
Gaya bahasa yang ringan dan penjelasan adat istiadat masyarakat jepang yang menjadi latar belakang ceritanya ini membuat novel ini mudah untuk dinikmati. 47 Ronin membutuhkan hampir 2 tahun untuk membalas dendam atas kematian majikannya. Rentang waktu yang dapat mengikis semangat dan kesetiaan seorang yang hidup di jalan samurai sekalipun. Dari ratusan samurai yang mengabdi pada sang daimyo, hanya 47 ronin inilah yang bertahan sampai akhir terhadap tekad dan keteguhan untuk mengembalikan kehormatan klan tempatnya mengabdi. Pergolakan antar karakter-karakter yang memiliki misi yang sama inilah yang menjadi inti cerita novel berlatar belakang sejarah ini. Bagaimana pribadi-pribadi yang berbeda saling berbenturan mengenai berbagai hal, mulai dari perlu tidaknya balas dendam sampai kapan hari pembalasan dendam itu. Pada titik tertentu bahkan hampir tejadi perpecahan karena kesalahpahaman sejumlah ronin terhadap pemimpin mereka. Namun pada akhirnya tekad dan keteguhan para 47 ronin inilah yang menang, bukan hanya sekedar membalas dendam kematian pemimpinnya, namun lebih dari itu memberikan makna baru terhadap sebuah pengabdian. Dalam berbagai bidang pekerjaan berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan loyalitas seorang pekerja, baik dengan mengucapkan sumpah karyawan atau panca prasetya korpri bagi pegawai negeri sipil, yang intinya agar pekerja pada jam kerja dapat mendahulukan kepentingan tempatnya bekerja dibandingkan kepentingan pribadi. Namun tidak dapat dipungkiri tidak peduli seberapa sering seorang pekerja mengucapkan sumpah tersebut hanya segelintir kecil yang benar-benar melakukan hal yang dimaksud. Bahkan jumlah yang hanya segelintir itupun masih patut dipertanyakan apakah benar-benar ada. Bayangkan perbandingannya dengan pengabdian yang ditunjukkan 47 ronin. Mungkin figur pemimpinnya menjadi motivasi tersendiri, mungkin status yang berubah dari samurai bertuan menjadi samurai tak bertuan (ronin) yang menjadi alasan. Apapun itu, alasan yang diungkapkan sang pemimpin Oishi kepada anak laki-lakinya yang ikut dalam vendetta tersebutlah yang patut dicermati, "Bagi kita yang terlahir sebagai samurai, kita tahu arah dari tugas kita dan kita mengikutinya tanpa mempertanyakannya." Sosok majikannya, Lord Asano, menjadi perenungan tersendiri. Sikap kerasnya untuk tidak turut terlibat dalam segala bentuk ketidakadilan patut diteladani dalam bidang apapun, namun tindakan gegabah melawan hukum yang berlaku dengan menyerang seorang pemimpin upacara karena dipanas-panasi, entah karena sifatnya atau karena usia yang masih muda, walau dengan alasan harga diri maupun kehormatan sekalipun tetaplah bukan sebuah sikap yang diharapkan untuk dilakukan seorang daimyo karena bukan hanya membahayakan dirinya sendiri tetapi seluruh klan. Pada akhirnya daimyo pun juga manusia(http://www.bukukita.com/resensi-review-buku/54233-kisah-47-ronin/225-makna-sebuah-pengabdian.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar